Saat itu saya tengah berada di kota Jeddah, Saudi Arabia. Terpapar
dihadapan saya sebuah koran berbahasa Arab di lobby hotel. Tergerak saya
melihat berita dan artikel yang tertulis di sana, hingga saya temukan
sebuah tulisan yang amat bermanfaat ini.
Tersebutlah kisah nyata seorang kaya raya berkebangsaan Saudi bernama
Ra’fat. Ia diwawancarai setelah ia berhasil sembuh dari penyakit liver
akut yang ia idap. Pola hidup berlebihan dan mengkonsumsi makanan tak
beraturan membuat Ra’fat mengalami penyakit di atas.
Ra’fat berobat untuk mencari kesembuhan. Banyak dokter dan rumah
sakit ia kunjungi di Saudi Arabia sebagai ikhtiar. Namun meski sudah
menyita banyak waktu, tenaga, pikiran dan biaya, sayangnya penyakit itu
tidak kunjung sembuh juga. Ra’fat mulai mengeluh. Badannya bertambah
kurus. Tak ubahnya seperti seorang pesakitan.
Demi mencari upaya sembuh, maka Ra’fat mengikuti saran dokter untuk
berobat ke sebuah rumah sakit terkenal spesialis liver di Guangzhou,
China. Ia berangkat ke sana ditemani oleh keluarga. Penyakit liver
semakin bertambah parah. Maka saat Ra’fat diperiksa, dokter mengatakan
bahwa harus diambil tindakan operasi segera. Ketika Ra’fat menanyakan
berapa besar kemungkinan berhasilnya. Dokter menyatakan kemungkinannya
adalah fifty-fifty.
“50% kalau operasi berhasil maka Anda akan sembuh, 50% bila tidak
berhasil mungkin nyawa Anda adalah taruhannya!” jelas sang dokter.
Mendapati bahwa boleh jadi ia bakal mati, maka Ra’fat berkata,
“Dokter, kalau operasi ini gagal dan saya bisa mati, maka izinkan saya
untuk kembali ke negara saya untuk berpamitan dengan keluarga, sahabat,
kerabat dan orang yang saya kenal. Saya khawatir bila mati menghadap
Allah Swt namun saya masih punya banyak kesalahan terhadap orang yang
saya kenal.” Ra’fat berkata sedemikian sebab ia takut sekali atas dosa
dan kesalahan yang ia perbuat.
Dengan enteng dokter membalas, “Terlalu riskan bagi saya untuk
membiarkan Anda tidak segera mendapatkan penanganan. Penyakit liver ini
sudah begitu akut. Saya tidak berani menjamin keselamatan diri Anda
untuk kembali ke tanah air kecuali dalam 2 hari. Bila Anda lebih dari
itu datang kembali ke sini, mungkin Anda akan mendapati dokter lain yang
akan menangani operasi liver Anda.”
Bagi Ra’fat 2 hari itu cukup berarti. Ia pun berjanji akan kembali
dalam tempo itu. Serta-merta ia mencari pesawat jet yang bisa disewa dan
ia pun pergi berangkat menuju tanah airnya.
Kesempatan itu betul-betul digunakan oleh Ra’fat untuk mendatangi
semua orang yang pernah ia kenal. Satu per satu dari keluarga dan
kerabat ia sambangi untuk meminta maaf dan berpamitan. Kepada mereka
Ra’fat berkata, “Maafkan aku, Ra’fat yang kalian kenal ini sungguh
banyak kesalahan dan dosa… Boleh jadi setelah dua hari dari sekarang
saya sudah tidak lagi panjang umur…”
Itulah yang disampaikan Ra’fat kepada orang-orang. Dan setiap dari
mereka menangis sedih atas kabar berita yang mereka dengar dari orang
yang mereka cintai dan kagumi ini.
Ra’fat menyambangi satu per satu dari mereka. Meski dengan tubuh yang
kurus tak berdaya, ia berniat mendatangi mereka untuk meminta doa dan
berpamitan. Dan kondisi itu membuat Ra’fat menjadi sedih. Ia merasa
menjadi manusia yang paling merana. Ia merasa tak berdaya dan tak
berguna. Sering dalam kesedihannya ia membatin, “Ya Allah…. rupanya
keluarga yang mencintai aku…. harta banyak yang aku miliki… perusahaan
besar yang aku punya…. semuanya itu tidak ada yang mampu membantuku
untuk kembali sembuh dari penyakit ini! Semuanya tak ada guna… semuanya
sia-sia!”
Rasa emosi batin itu membuat tubuh Ra’fat bertambah lemah. Ia hanya
mampu perbanyak istighfar memohon ampunan Tuhannya. Memutar tasbih
sambil berdzikir kini menjadi kegiatan utamanya. Ia masih merasa bahwa
dirinya adalah manusia yang paling merana di dunia.
Hingga saat ia sedang berada di mobilnya. duduk di kursi belakang
dengan tangan memutar tasbih seraya berdzikir. Hanya Ra’fat dan supirnya
yang berada di mobil itu. Mereka melaju berkendara menuju sebuah rumah
kerabat dengan tujuan berpamitan dan minta restu. Saat itulah menjadi
moment spesial yang tak akan terlupakan untuk Ra’fat.
Beberapa ratus meter di depan, mata Ra’fat melihat ada seorang wanita berpakaian abaya (pakaian
panjang wanita Arab yang serba berwarna hitam) tengah berdiri di depan
sebuah toko daging. di sisi wanita tadi ada sebuah karung plastik putih
yang biasa menjadi tempat limbah toko tersebut. Wanita tadi mengangkat
dengan tangan kirinya sebilah tulang sapi dari karung. Sementara tangan
kanannya mengumpil dan mencuil daging-daging sapi yang masih tersisa di
pinggiran tulang.
Ra’fat memandang tajam ke arah wanita tersebut dengan pandangan
seksama. Rasa ingin tahu membuncah di hati Ra’fat tentang apa yang
sedang dilakukan wanita itu. Begitu mobilnya melintasi sang wanita,
sekilas Ra’fat memperhatikan. Maka ia pun menepuk pundak sang sopir dan
memintanya untuk menepi.
Saat mobil sudah berhenti, Ra’fat mengamati apa yang dilakukan oleh
sang wanita. Entah apa yang membuat Ra’fat menjadi penasaran.
Keingintahuannya membuncah. Ia turun dari mobil. lemah ia membuka pintu,
dan ia berjalan tertatih-tatih menuju tempat wanita itu berada.
Dalam jarak beberapa hasta Ra’fat mengucapkan salam kepada wanita
tersebut namun salamnya tiada terjawab. Ra’fat pun bertanya kepada
wanita tersebut dengan suara lemah, “Ibu…, apa yang sedang kau lakukan?”
Rupanya wanita ini sudah terlalu sering diacuhkan orang, hingga ia
pun tidak peduli lagi dengan manusia. Meski ada yang bertanya kepadanya,
wanita tadi hanya menjawab tanpa menoleh sedikitpun ke arah si penanya.
Sambil mengumpil daging wanita itu berkata, “Aku memuji Allah Swt yang
telah menuntun langkahku ke tempat ini. Sudah berhari-hari aku dan 3
orang putriku tidak makan. Namun hari ini, Dia Swt membawaku ke tempat
ini sehingga aku dapati daging limbah yang masih bertengger di sisi
tulang sisa. Aku berencana akan membuat kejutan untuk ketiga putriku
malam ini. Insya Allah, aku akan memasakkan sup daging yang lezat buat
mereka….”
Subhanallah. …! bergetar hebat relung batin Ra’fat saat
mendengar penuturan kisah kemiskinan yang ada di hadapannya. Tidak
pernah ia menyangka ada manusia yang melarat seperti ini. Maka
serta-merta Ra’fat melangkah ke arah toko daging. Ia panggil salah
seorang petugasnya. Lalu ia berkata kepada petugas toko, “Pak…, tolong
siapkan untuk ibu itu dan keluarganya 1 kg daging dalam seminggu dan aku
akan membayarnya selama setahun!”
Kalimat yang meluncur dari mulut Ra’fat membuat wanita tadi
menghentikan kegiatannya. Seolah tak percaya, ia angkat wajah dan
menoleh ke arah Ra’fat. Kini mata wanita itu menatap dalam mata Ra’fat
seolah ia berterima kasih lewat sorot pandang.
Merasa malu ditatap seperti itu, Ra’fat menoleh ke arah petugas toko.
Ia pun berkata, “Pak…, tolong jangan buat 1 kg dalam seminggu, aku rasa
itu tidak cukup. Siapkan 2 kg dalam seminggu dan aku akan membayarnya
untuk setahun penuh!” Serta-merta Ra’fat mengeluarkan beberapa lembar
uang 500-an riyal Saudi lalu ia serahkan kepada petugas tadi.
Usai Ra’fat membayar dan hendak meninggalkan toko daging, maka
terhentilah langkahnya saat ia menatap wanita tadi tengah menengadah ke
langit sambil mengangkat kedua belah tangannya seraya berdoa dengan
penuh kesungguhan:
“Allahumma ya Allah… berikanlah kepada tuan ini keberkahan rezeki.
Limpahkan karunia-Mu yang banyak kepadanya. Jadikan ia manusia mulia di
dunia dan akhirat. Beri ia kenikmatan seperti yang Engkau berikan
kepada para hamba-Mu yang shalihin. Kabulkan setiap hajatnya dan berilah
ia kesehatan lahir dan batin…..dst”
Panjang sekali doa yang dibaca oleh wanita tersebut. Kalimat-kalimat
doa itu terjalin indah naik ke langit menuju Allah Swt. Bergetar arsy
Allah Swt atas doa yang dibacakan sehingga getaran itu terasa di hati
Ra’fat. Ia mulai merasakan ketentraman dan kehangatan. Kedamaian yang
belum pernah ia rasakan sebelumnya. Hampir saja Ra’fat menitikkan air
mata saat mendengar jalinan indah kalimat doa wanita tersebut. Andai
saja ia tidak merasa malu, pastilah buliran air mata hangat sudah
membasahi pipinya. Namun bagi Ra’fat pantang menangis…, apalagi
dihadapan seorang wanita yang belum ia kenal.
Ra’fat lalu memutuskan untuk meninggalkan wanita tersebut. Ia
berjalan tegap dan cepat menuju mobilnya. Dan ia belum juga merasakan
keajaiban itu! Ya, keajaiban yang ditambah saat Ra’fat membuka dan
menutup pintu mobil dengan gagah seperti manusia sehat sediakala!!!
Sungguh doa wanita itu memberi kedamaian pada hati Ra’fat. Sepanjang
jalan di atas kendaraan Ra’fat terus tersenyum membayangkan doa yang
dibacakan oleh sang wanita tadi. Perjalanan menuju rumah seorang kerabat
itu menjadi indah.
Sesampainya di tujuan lalu Ra’fat mengutarakan maksudnya. Ia
berpamitan dan meminta restu. Ia katakan boleh jadi ia tidak lagi
berumur panjang sebab sakit liver akut yang diderita.
Anehnya saat mendengar berita itu dari Ra’fat, sang kerabat berkata,
“Ra’fat…, janganlah engkau bergurau. Kamu terlihat begitu sehat. Wajahmu
ceria. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda bahwa engkau sedang sakit.”
Awalnya Ra’fat menganggap bahwa kalimat yang diucapkan kerabat tadi
hanya untuk menghibur dirinya yang sedang sedih. Namun setelah ia
mendatangi saudara dan kerabat yang lain, anehnya semuanya berpendapat
serupa.
Dua hari yang dimaksud pun tiba. Ia didampingi oleh istri dan
beberapa anaknya kembali datang ke China. Hari yang dimaksud untuk
menjalani operasi sudah disiapkan. Sebelum masuk ruang tindakan,
beberapa pemeriksaan pun dilakukan. Setelah hasil pemeriksaan itu
dipelajari maka ketua tim dokter pun bertanya keheranan kepada Ra’fat
dan keluarga:
“Aneh….! dua hari yang lalu kami dapati liver tuan Ra’fat rusak parah
dan harus dilakukan tindakan operasi. Tapi setelah kami teliti, mengapa
liver ini menjadi sempurna lagi?!”
Kalimat dokter itu membuat Ra’fat dan keluarga menjadi bahagia.
Berulangkali terdengar kalimat takbir dan tahmid di ruangan meluncur
dari mulut mereka. Mereka memuji Allah Swt yang telah menyembuhkan
Ra’fat dari penyakit dengan begitu cepat. Siapa yang percaya bahwa Allah
yang memberi penyakit, maka ia pun akan yakin bahwa hanya Dia Swt yang
mampu menyembuhkan. Jangan bersedih dan merasa hidup merana. Sadari
bahwa dalam kegetiran ada hikmah bak mutiara!
sedih dibaca, terimakasih
Bobby Herwibowo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar